Pagi yang
terselimuti mendung tak menyurutkan semangat untuk menyambut hari. Jumat,
tepatnya pada tanggal merah perayaan tahun baru Imlek, kami serombongan crew
PAJAK Productions memilih untuk menghabiskan hari mendengarkan puisi. Ini
adalah kali pertama anak-anak PAJAK mengunjungi acara di luarbasecamp. Acara
pembacaan puisi yang digagas oleh Komunitas Omah Gabungan Sastra (Gatra)
Undaan, bertajuk “Jumat Pagi Membaca Puisi”. Awalnya niatan kami cuma sekedar
menghilangkan kejenuhan, namun kunjungan ini disambut ramah oleh Sahabat Gatra.
Semacam ajang silaturrahim lintas komunitas pecinta seni –begitu tutur Sulhan
MS selaku koordinator Omah Gatra.
Acara yang
digelar di halaman MA Darul Hikam Kalirejo terbilang sederhana. Ornamen bambu
dan hamparan banner sebagai background acara, serta tempat duduk lesehan
beralas tikar, tak menyurutkan gelora para peserta untuk menunaikan ibadah
puisi –meminjam istilah Joko Pinurbo yang menjadi runititas Sahabat Gatra
sebulan sekali itu. Mereka terdiri atas wanita- pria paruh baya, remaja, bahkan
ada yang masih anak usia sekolah –termasuk kami, hehe.
Acara
dimulai jam sembilan pagi –sebenarnya setengah sembilan- oleh pembawa acara
disusul sambutan oleh koordinator Omah Gatra, sebagai pengantar tema. Puisi
yang dibaca adalah buah karya dari penyair era reformasi, Widji Tukul, yang
dikisahkan menyuarakan demonstrasinya melalui sastra puisi. “Semangat Widji
masih terasa, saat puisi-puisi sederhananya tak henti-hentinya dibaca, walau
hingga kini entah dia masih hidup atau sudah tiada”. Begitu prolog yang
disampaikan oleh Sulhan.
Peringatan
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Silih
berganti para penyair membacakan puisi-puisi Widji Tukul, mulai dari Mahfu R,
Suwanto, Tebe. Namun, di tengah pembacaan tiba-tiba hujan turun memaksa acara
tertunda sejenak. Pembacaan dilanjutkan di dalam ruangan, oleh S. Munfa’ati,
Alia Lutfiya, Maulida, Gus Umam, M. Khabibullah, Alfina Dama, Dinar, Dila,
Rama, Bela, Bagus B Suhun, M. Fajrin, Khoirul Amin, dan masih banyak yang lain
–yang kami tidak bisa mengingatnya satu-satu. Puisi-puisi yang dibacakan pun beraneka
judul, seperti Bunga dan Tembok, Sajak Anak-Anak, Kampung, Peringatan, dsb.
Lepas
pembacaan puisi, dilanjutkan obrolan santai yang dipandu langsung oleh Sulhan
MS. Kami pun dipersilahkan untuk memperkenalkan rombongan satu persatu –walau
sebenarnya canggung juga. Pertanyaan, usulan, dan gagasan diutarakan dan
ditanggapi langsung oleh pria yang sudah menelurkan beragam judul puisi ini.
Termasuk usulan untuk menggarap antologi puisi karya Sahabat Gatra, seperti
project yang sedang kami garap.
Acara
diakhiri dengan sesi foto bersama. Perjumpaan yang akan kami bawa pulang
sebagai bekal untuk menggarap project-project selanjutnya. Langit masih mendung
dan setia bersama rintik hujan. Tak lama pun, alunan suara qira’ Jumat
terdengar. Saatnya pulang.
Posting Komentar