(Kajian Kitab Tarbiyatul Aulad fil Islam Karya Abdullah Nasih Ulwan)
Pendidikan merupakan usaha terencana yang mengupayakan terbentuknya pribadi yang utuh, atau dalam istilah populernya: “memanusiakan manusia”. Sebagai sebuah usaha dan proses, tentunya terdapat susunan sistemik dalam merencanakan usaha tersebut demi tercapainya tujuan pendidikan. Manusia dikonstruksi oleh Allah sebagai pribadi yang unik, yang dibekali fitrah ketika lahir yaitu bekal keimanan. Namun seiring pengembaraan hidupnya manusia menerima pengaruh dari dinding-dinding lingkungan yang mencetak karakter dan sifat-sifat yang mungkin berseberangan dengan fitrah awal manusia. Maka di sinilah kedudukan pendidikan diperlukan untuk menyediakan pola-pola lingkungan yang mengatur perkembangan dan pertumbuhan manusia.
Upaya pendidikan dalam menjadikan manusia sebagai pribadi muslim yang utuh tidak hanya sebatas mengajarkan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan dalam satu waktu, tempat, dan keadaan saja, tetapi yang dinamakan pendidikan adalah upaya membiasakan manusia untuk selalu mengamalkan apa yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembiasaan ini tidak akan mungkin terlaksana jika kondisi lingkungan yang tidak mendukung, khususnya lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga merupakan tempat pendidikan anak paling awal dan yang memberikan warna dominant bagi anak. Kedua orang tuanya lah yang memiliki peran besar untuk mendidiknya agar tetap dalam jalan yang sehat dan benar.[1]
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap penggembala tentang gembalaannya, apakah ia menjaganya ataukah malah menyia-nyiakannya”. Penggalan arti sabda Nabi Muhammad SAW memberikan gambaran kepada kita bahwa seorang guru pada hakekatnya adalah penggembala murid yang akan dimintai pertanggung jawabannya kelak oleh Allah. Tanggung jawab besar yang diemban oleh seorang pendidik dalam pendidkan anak mencakup tanggung jawab terhadap iman, moral, mental, fisikal, spiritual, ataupun sosial murid. Tidak diragukan lagi, pendidik yang sadar akan tanggung jawab itu akan terus mencari beberapa metode yang lebih efektif, mencari kaidah-kaidah yang influentif dalam mempersiapkan anak secara mental dan moral, saintikal, spiritual dan sosial, sehingga anak dapat mencapai kematangan yang sempurna.
Salah satu metode yang tepat untuk digunakan dalam mendidik anak adalah melalui pembiasaan, karena pada dasarnya anak diciptakan dengan fitrah dari Allah berupa tauhid yang kemudian berproses dalam rangkaian kehidupan anak di lingkungannya. Mengenai hal ini, Mushannif menuturkan:
من الأمور المقررة في شريعة الاسلام أن الولد مفطور منذ خلقته على التوحيد الخالص والدين القيم والايمان بالله [2]
Masalah-masalah yang sudah menjadi ketetapan dalam syariat Islam bahwa sang anak diciptakan dengan fitrahtauhid yang murni, agama yang lurus, dan iman kepada Allah.
Hal ini sesuai dengan apa yang Allah firmankan:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لايَعْلَمُونَ
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
Yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah bahwa manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.
Dari sini, peranan pembiasaan, pengajaran, dan pendidikan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak akan menemukan tauhid yang murni, keutamaan-keutamaan budi pekerti, spiritual dan etika yang lurus. Pembiasaan atau latihan sangat diperlukan dalam mewujudkan pendidikan agama yang baik pada anak. Pentingnya pembiasaan dan latihan ini sebagaimana pendapat Zakiah Daradjat karena “Pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap tentunya pada anak yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi, karena masuk menjadi bagian dari pribadinya”.
Mushannif lebih lanjut menuturkan:
ومما لا يختل فيه اثنان أن الولد اذا تيسر له عاملان: عامل التربية الاسلامية الفاضلة وعامل البيئة الصالحة فان الولد –لا شاك- ينشأ على الامان الحق ويتخلق باخلاق الاسلام ويصل الى قمة الفضائل النفسية والمكارم الذاته[3]
Dan masalah yang tidak dipertentangkan adalah bahwa sang anak, jika dengan mudah ia berhadapan dengan dua faktor: faktor pendidikan Islam yang utama dan faktor pendidikan lingkungan yang baik, maka sesungguhnya anak akan tumbuh dalam iman yang baik, akan berhiaskan diri dengan etika Islam dan sampai pada puncak keutamaan spiritual dan kemuliaan personal.
Mengenai adanya hal factor pendidikan Islam yang utama, Rasulullah SAW menegaskan dalam banyak hadits, di antaranya:
كل مولود يولاد على الفطرة فأبواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه رواه البخارى
Setiap anak yang dilahirkan, ia dilahirkan dalam fitrah (kesucian), maka kedua orang tuanya lah yang akan menjadikan ia sebagai seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR. al-Bukhari)
Pemahaman dari hadis ini adalah, bahwa sang anak jika mempunyai kedua orang tua muslim yang baik, mengajarkan kepada dirinya prinsip-prinsip iman dan islam, maka anak akan tumbuh dalam akidah iman dan Islam, dan ini adalah pengertian factor lingkungan rumah.
المرء على دين خليله فلينظراحدكم من يخالل رواه الترمذي
Seseorang berada dalam tuntunan temannya, maka hendaklah salah seorang dari kamu melihat siapa yang menjadi temannya (HR. Tirmidzi)
Pemahaman hadis ini adalah bahwa teman mempunyai pengaruh besar terhadap seseorang. Jika sang teman baik dan bertakwa, maka seseorang dapat mengambil sifat baik dan takwanya. Ini merupakan pengertian dari factor lingkungan social, sekolah atau luar rumah lainnya.
Dari nash-nash di atas, Mushannif menarik kesimpulan berikut:
ان الولد حينما تتوفر له تربية صالحة من قبل اباء صالحين, ومعلمين مخلصين وتتوفر له بيئه صالحة من قبل أصدقاء صالحين ورفقاء مؤمنين مخلصين فان الولد ولا شاك يتربى على الفضيلة والايمان والتقوى ويعتاد كل أدب رفيع وخلق جميل وعادة كريمة[4]
Sesungguhnya sang anak, jika menerima pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya yang shaleh, dan pengajarnya yang tulus, disamping tersedianya lingkungan yang baik dari teman-temannya yang shaleh, mukmin, dan tulus, maka tidak diragukan bahwa anak tersebut akan terdidik dalam keutamaan, iman, dan takwa. Mereka juga akan terbiasa dengan akhlak yang luhur, etika yang mulia, dan kebiasaan yang terpuji
Pendapat Mushannif senada dengan pendapat Ki Hajar Dewantara mengenai Tri Pusat Pendidikan, yang menjelaskan bahwa lingkungan pendidikan itu meliputi alam keluarga, alam perguruan (sekolah), maupun alam pergerakan pemuda (masyarakat) yang mana satu sama lain saling berhubungan, tidak bisa dipisahkan. Tri Pusat Pendidikan masing-masing harus dikembangkan peranannya. Menurut Ki Hajar Dewantara, lingkungan sekolah merupakan titik pusat dari ketiga pusat tersebut dan berfungsi sebagai penyambung antara pendidikan keluarga dan masyarakat. [5]
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, orang-orang shaleh terdahulu berjalan dalam memilih pendidik untuk anak-anak mereka, dan menyediakan suasana yang baik dalam pertumbuhan untuk mendapatkan kebaikan, dan menghiasi dengan akhlak yang mulia dan sifat-sifat yang baik. Al-Jahid meriwayatkan bahwa Uqabah bin Abi Sufyan ketika menyerahkan anaknya kepada seorangan pendidik mengatakan kepadanya: “Hendaknya, pertama yang kamu mulai dalam memperbaiki anak saya ini adalah memperbaiki dirimu sendiri, karena sesungguhnya, mata anak-anak itu tergantung pada matamu. Yang bagus bagi mereka adalah apa yang menurutmu bagus, dan yang buruk bagi mereka adalah yang menurutmu buruk....”
Salah satu wasiat Ibnu Sina dalam pendidikan anak-anak: “Hendaklah bersama seorang anak kecil dalam pergaulan sehari-hari, anak kecil yang berbudi baik, beradat kebiasaan terpuji, dan karena anak kecil dengan anak kecil lebih membekas pengaruhnya, satu sama lain akan meniru terhadap apa yang mereka lihat dan perhatikan...”
Berkaitan dengan teori pertumbuhan dan perkembangan, Mushannif mengungkapkan pendapatnya dalam kutipan berikut:
ومن الخطاء الفادح أن يتوهم البعض أن الناس يولدون أخيارا أو أشرارا, كما يولد الحمل (اى الخروف) وادعا, والنمر مفترسا وانه لايمكن تغيير الشر الكامن في الانسان كما انه لايمكن تغيير الخير المتأصل فيه[6]
Sungguh teramat salah apa yang selama ini menjadi keyakinan beberapa orang bahwa manusia dilahirkan dalam dua keadaan, baik dan jahat. Seperti dilahirkannya domba dalam keadaan jinak, seperti macan yang dilahirkan menjadi makhluk buas. Dan tidak mungkin mengubah kejahatan yang tersembunyi pada diri manusia, seperti juga tidak mungkin mengubah kebaikan yang telah menjadi cirri keasliannya.
Mushannif tidak sepakat dengan teori nativisme yang dikembangkan oleh Schopenhauer yang menganggap bahwa perkembangan individu itu ditentukan oleh pembawaan/ dasar atau kekuatan-kekuatan kodrati, yang dibawa sejak lahir. Tiap-tiap individu sejak lahir dianggap mempunyai pembawaan tersendiri yang tidak mungkin lagi diubah dan akan berkembang menurut garis kodrat tersebut. Aliran ini mementingkan kebutuhan individu saja, tanpa memeprhatikan pengaruh dari luar/ lingkungannya. Jika dikaitkan dengan pendidikan maka segala pengaruh dari luar dianggap tidak berdaya mengubah kekuatan-kekuatan yang dibawa sejak lahir atau pembawaan.[7] Demikian pula Mushannif tidak serta merta mendukung teori empirisme yang menganggap perkembangan individu itu hanya ditentukan oleh adanya pengalaman, pengaruh dari luar, termasuk pendidikan. Berikut penuturan Mushannif mengenai hal tersebut:
فذلك النفس الانسانية وما فيها من قبليات واستعداد ةسجايا وجبلات حينما تتعهدها بالاخلاق الفاضلة وتمدها بماء العلوم والمعارف وترفدها بالعمل الصالح فانما تنشأ على الخير وتدرجعلى الكمال ويكون صاحبها كالملك بشيئ فى الناس
أما اذا أهلها وتركها للايام حتى هاها صدأ الجهل وغشيها عدوى خلطاء السوء وتراكهم عليها أنقاض العداوات الذميمة فانها ولا شاك تنشأ على الشر والفساد وتتقلب في مستنقع التحلل والاباحية ويكون صاحبها كالوحش الاعجم يمشي فى الناس ويظن نفسه من الاناس الكريم[8]
Demikian pula jiwa manusia dan segala apa yang ada di dalamnya dari kecenderungan dan kesiapan, tabiat dan pembawaan, ketika terdidik dalam akhlak yang utama, disiram dengan air ilmu pengetahuan, dan disertai dengan amal saleh. Maka jiwa tersebut akan tumbuh dalam kebaikan, semakin mendekati kesempurnaan. Pemilik jiwa tersebut menjadi “malaikat” yang berjalan di tempat umat manusia.
Jika dibiarkan, ia akan dihinggapi karat kebodohan bercampur debu kejahatan, dan ditumpuki dengan adat kebiasaan yang tercela. Maka jiwa tersebut akan tumbuh dengan kejahatan dan kerusakan. Pemiliknya akan serupa dengan binatang liar yang berjalan di tengah umat manusia, dan ia mengira bahwa dirinya sebagai manusia yang terhormat.
Kesimpulan yang disampaikan oleh Mushannif mengindikasikan adanya perpaduan (konvergensi) antara faktor bakat/ pembawaan yang dimiliki anak dengan faktor lingkungan yang membentuk karakter anak sama-sama berpengaruh dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut.
[1] Nana Syaodih Sukmana, Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2003. hlm. 44
[2] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad Fi al-Islam, (Bairut : Dar al-Salam, tth.), Jilid 2. h. 664
[3] Ibid. hal. 665
[4] Retno Sriningsih Satmoko. Landasan Kependidikan. Semarang: CV. IKIP Semarang Press. 1999.
[5] Ibid. hal. 668
[6] Abd Rachman Abror. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta : Tiara Wacana.1993. hal.21
[7] Abdullah Nashih Ulwan, Op. Cit. hal 671
[8] Ibid. hal. 667
Posting Komentar