Judul Buku : Pasinaon
Penulis : AA Yurisaldi
Penerbit : Pinus Book
Publisher, Yogyakarta
Cetakan : Cetakan 1, April
2010
Tebal : 131 hlm
Temen,
pinter, nglakoni, sabar, dan nekani sebuah filosofi jawa,
tertulis di sebuah pentagram yang tergantung di dinding rumah kawedanan. Sebuah
simbol memiliki kekuatan magis untuk memusnahkan sihir jahat dari para penganut
ilmu Kalakembar yang diwariskan turun-temurun oleh keluarga keturunan Belanda.
Konon, seorang Resi sakti bersama temannya mengembangkan ilmu kebatinan untuk
membantu Raja Pajajaran dalam mempertahankan wilayahnya dari ekspansi
Majapahit. Walhasil terciptalah ilmu yang diberi nama Kalakembar yang tersimpan
dalam dua kitab. Sebuah kitab dilarikan temannya yang berkhianat menuju Timur
Tengah dan satunya lagi dicuri muridnya sendiri dengan cara membunuh sang Resi.
Namun, bak pepatah di atas langit masih ada langit. Sebelumnya sang Resi telah
menciptakan cincin Kalamunyeng yang diberikan kepada adik seperguruannya untuk
menangkal kekuatan dari ilmu Kalakembar, sekaligus menghantam balik
penggunanya.
Pewaris
Kalakembar merah dan hitam secara tidak terduga bertemu dalam ikatan keluarga
seorang dokter Belanda dalam lingkungan NIAS (Netherlands Indiche Artsen
School) pada tajun 1929 di Surabaya. Di bawah bimbingan wanita usia senja
pengikut gypsi, para penganut ilmu Kalakembar menggencarkan serangan sihir
kepada orang-orang yang dibencinya. Sebut saja Raden Oerip, seorang bendahara
pemerintah kota Malang, menggunakan ilmu tersebut untuk membunuh jaksa penuntut
khusus kasus korupsi yang menjeratnya. Selang beberapa lama, Raden Oerip
bertemu dengan pemilik cincin Kalamunyeng yang tidak lain adalah suami teman
lamanya, Mas Ngabehi Akadikoen. Raden Oerip tewas mengenaskan dengan tanda tato
sepasang kalajengking merah pada pergelangan tangannya.
Kisah
penganut ilmu Kalakembar tidak berhenti sampai di situ. Kutukan dan sihir
Kalakembar turun diwariskan kepada dua dokter wanita keturunan Belanda, berikut
sifat dan peringai yang jahat. Amari dan Lyna, begitu mereka disapa memiliki
dendam pada salah satu mahasiswa kedokteran NIAS bernama Herman yang tidak lain
adalah keturunan pemilik cincin Kalamunyeng. Herman terkena serangan nyeri pada
perut yang begitu hebat. Gejala-gejala yang muncul dianalisis, tidak
menghasilkan diagnose yang ilmiah. Di sinilah pertarungan ilmu kedokteran dan
magis sangat kental terasa. Saat semuanya terasa sia-sia, Herman mendapat saran
dari ayahnya, pemilik cincin Kalamunyeng untuk dibersihkan dari segala macam
guna-guna. Di bawah bimbingan sang Guru, Eyang Marnu, butir-demi butir paku
berkarat keluar dari perut calon dokter muda tersebut. Ritual terakhir adalah mandi di sungan
Mendit, kaki Gunung Bromo. Akadikoen juga merapalkan wirid untuk menangkis
serangan sihir tersebut datang kembali dengan wirid yang sama dia baca ketika
terkena serangan yang serupa puluhan tahun silam. Sebuah amalan dari RM.
Sostokartono, sang Maha Guru bersama surat yang penuh makna dan filosofi.
Surat itu berbunyi:
Surat itu berbunyi:
Ngloeroeg
tanpa bala, menang tanpa ngasoerake. Biarkan sadja orang jang soeka berboeat
jahat, jang penting kita perbaiki diri teres sahadja, mereka akan maloe
sendiri. Harap berhati-hati sanget, terhadap orang jang pernah memfitnah dari
arah selatan Krakasan. Batjalah doa jang pernah saia berikan, dan lihatlah di
dalam bantal Dimas Akadikoen. Rahajoe. Joko Pring.
Singkat
cerita, Herman yang sudah sembuh dari penyakitnya, membuka album foto lama yang
berisi foto Suhu Go Boen Bie, seorang arif keturunan Tionghoa yang merupakan
teman lama ayahnya. Dalam album tersebut, terdapat catatan kaki yang
bertuliskan: genteng saponono, abot enteng
yo lakonono bakal sirno ilang Kalakembar. Sabar, pinter, temen, waspodo
akeh kala.. akeh kala.. waspodo. Tulisan yang memuat pentagram riasan
dinding rumahnya. Herman mengambil pentagram tersebut dan melihat gambar
kalajengking hitam dan merah dibelakangnya. Jari-jari Herman yang memakai
cincin Kalamunyeng mengusap satu persatu gambar kalajengking tersebut dan
tiba-tiba lenyap menjadi kanvas putih. Hilangnya gambar tersebut menandai
musnahnya sihir jahat Kalakembar, yang dibuktikan dengan meninggalnya Amari,
Lyna, dan semua keturunan penganut sihir itu dengan kematian yang mengenaskan,
bertato kalajengking beraroma kemenyan Arab.
Novel yang
menyajikan cerita mistis dengan analogi ilmu kedokteran menjadi tulisan menarik
untuk dibaca. Yurisaldi juga mengambil setting dan tokoh yang sarat sejarah,
seperti istilah kawedanan, yang kental dengan setting zaman penjajahan.
Munculnya tokoh sampiran RM Sosrokartono ikut melengkapi nuansa historis dalam
novel ini, mengingat beliau adalah filosof Jawa yang hidup di era kolonialisme.
Pembaca juga bakal menjumpai harmonisasi social di lingkungan kawedanan. Kisah
sahabat seperguruan Go Boen Bie dengan Akadikoen menjadi hubungan multicultural
yang terjadi di era penjajahan, terlepas dari fiktif tidaknya kedua tokoh ini.
Kesulitan
yang dijumpai pembaca dalam novel ini adalah penalaran alur cerita. Alur yang
digarap Yurisaldi terkesan meloncat-loncat tanpa ada pengantar pada saat zoom
in atau pun zoom out membuat pembaca bingung mengenai setting waktu yang
berlangsung. Munculnya tokoh-tokoh sampiran dengan nama yang sulit dieja oleh
pembaca awam, tanpa memahami posisi tokoh tersebut, juga menjadi kendala
tersendiri dalam menikmati sajian novel ini. Over all, novel ini layak
diapresiasi. Seorang dokter yang mampu mengawinkan ilmu kedokterannya dengan
kisah mistis, historis, dan humanis. Good Job Dok!
Posting Komentar